Latar Belakang Terapis di Surabaya
Surabaya, kota besar di Jawa Timur, dikenal sebagai pusat pendidikan dan klinik psikologi. Di salah satu ruangan terapi di kawasan Dukuh Pakis, seorang terapis bernama Ririn tengah menatap layar laptop. Ia baru saja mendengar tentang fenomena meningkatnya minat pada game digital di kalangan remaja dan dewasa, terutama permainan 888 Gold Pragmatic Play dan Dragon Legend PG Soft. Ririn terpikir, apakah perilaku bermain game itu bisa dihubungkan dengan aspek psikoekonomi, terutama jika diarahkan untuk penggalangan dana kurban?
Ririn sendiri memiliki latar belakang pendidikan psikologi klinis, namun selama beberapa bulan terakhir, ia tertarik mendalami ekonomi perilaku. Bagi Ririn, kedua disiplin ilmu ini sangat berkaitan: psikologi membantu memahami motivasi dan emosi, sedangkan ekonomi mengukur dampaknya secara kuantitatif. Ketika mendekati Idul Adha, ia berpikir, “Mengapa tidak memanfaatkan riset psikoekonomi untuk merancang strategi penggalangan dana kurban?” Pemikiran ini tentu terdengar tak biasa bagi seorang terapis, tapi baginya, ini adalah peluang untuk memadukan keahlian profesional dengan nilai sosial.
Ririn segera menghubungi beberapa kolega terapis dan ekonom dari Universitas Airlangga. Mereka berdiskusi tentang metodologi riset perilaku pemain, analisis data, dan implikasi kesejahteraan mental. Bersama mereka, Ririn merumuskan kerangka riset: mempelajari bagaimana pemain 888 Gold dan Dragon Legend mengambil keputusan risiko, memetakan profil psikologis mereka, lalu melihat bagaimana perilaku ini dapat dialihkan untuk mendukung penggalangan dana kurban. Dari sinilah riset psikoekonomi ini mulai terbentuk.
Memahami Dimensi Psikoekonomi 888 Gold
Game 888 Gold Pragmatic Play menyajikan layar 5x3 dengan simbol permata berkilau, warna emas mendominasi, dan efek suara gemerlap. Bagi pemain, kombinasi tiga permata ke atas dapat memicu kemenangan yang memikat. Ririn membuat analogi bahwa permata di layar itu seperti ‘reward’ di otak—munculnya dopamine saat pemain melihat potensi imbalan. Ia menyiapkan kuesioner singkat untuk mengukur reaksi emosional pemain: seberapa cepat mereka merasa bersemangat, bagaimana mereka merespon kehilangan, dan kapan mereka memutuskan keluar sesi bermain.
Dalam riset awal, Ririn merekrut 20 partisipan usia 18 hingga 35 tahun yang pernah bermain 888 Gold setidaknya tiga kali. Setiap sesi, partisipan bermain di laptop dengan monitor besar di ruang terbatas, sementara Ririn memantau ekspresi wajah dan suara mereka. Ia mencatat waktu reaksi saat kemenangan kecil muncul, level ketegangan saat simbol mengumpul, serta ekspresi kecewa saat kemenangan tak kunjung datang. Data ini penting untuk menghubungkan aspek psiko (emosi) dengan aspek ekonomi (keputusan taruhan).
Ririn juga memperhatikan pola finansial: berapa modal awal yang mereka sediakan, frekuensi menaikkan atau menurunkan taruhan, hingga batas kerugian yang mereka tetapkan. Banyak pemain 888 Gold yang cenderung menunggu putaran besar, meski sudah kehilangan cukup banyak. Hal ini jika dibiarkan bisa memicu stres mental—tekanan untuk ‘kembali modal’. Bagi Ririn, penting memahami kapan rasa kesenangan berubah menjadi rasa cemas. Insight ini kelak menjadi dasar rekomendasi model prediksi dan batasan risiko bagi peserta agar tujuan kurban tetap terjaga.
Mengkaji Strategi Dragon Legend PG Soft
Sementara itu, Dragon Legend PG Soft menawarkan nuansa mitologi dan tantangan berantai melalui fitur respin. Ririn melihat bahwa setiap respin dapat memicu multiplier yang signifikan, mirip sensasi jeda dalam terapi—ketika klien diberi jeda untuk meresapi proses penyembuhan. Ia memutuskan memasukkan Dragon Legend sebagai pembanding: apakah pemain yang lebih menyukai fitur berantai ini memiliki profil risiko yang berbeda dibanding pemain 888 Gold?
Dalam sesi riset Dragon Legend, partisipan menjalankan demo game di tablet, dikelilingi suasana ruangan terapi yang hangat: ada lampu lembut, aroma terapi sandalwood, dan kursi empuk. Ririn mencatat kapan peserta menunggu respin, bagaimana mereka bereaksi saat multiplier muncul, serta kapan mereka memilih keluar untuk menghindari kerugian lebih dalam. Data ini dipadukan dengan skala penilaian stres singkat: sebelum dan setelah sesi, peserta menilai tingkat kecemasan mereka pada skala 1-10.
Ririn menemukan bahwa banyak pemain Dragon Legend memerlukan waktu lebih lama untuk mengambil keputusan, karena mereka menunggu ‘gelombang multiplier’. Beberapa partisipan bahkan mengabaikan batas modal demi mengejar respin lanjutan. Pola ini menunjukkan implikasi kesejahteraan mental: kecenderungan overthinking dapat memicu stres dan memengaruhi mood. Namun di sisi lain, fitur berantai juga dapat meningkatkan rasa pencapaian jika respin berhasil, memberikan dampak positif pada kesejahteraan. Ririn memandang ini sebagai kesempatan untuk merancang intervensi psikoekonomi yang tepat.
Merancang Simulasi Penggalangan Dana Kurban
Setelah memahami psikologi dan ekonomi kedua game, Ririn menyusun simulasi penggalangan dana kurban di komunitas Surabaya. Ia mengundang 30 partisipan yang terbagi dalam dua kelompok: Kelompok Permata (inspirasi 888 Gold) dan Kelompok Naga (inspirasi Dragon Legend). Masing-masing diberikan kredit virtual senilai Rp 100.000 untuk digunakan di demo game selama sebulan, dengan aturan: setiap persen keuntungan langsung dikonversi menjadi donasi kurban. Sebaliknya, kerugian dianggap sebagai biaya ‘riset’.
Setiap minggu, partisipan diminta mengisi jurnal mini berupa catatan singkat: modal awal, keuntungan/kerugian, kondisi mental saat bermain, serta refleksi singkat tentang mengapa mereka memilih menaikkan atau menurunkan taruhan. Jurnal ini menggabungkan aspek kuantitatif (nilai finanial) dan kualitatif (perasaan, motivasi). Di akhir minggu, Ririn memberikan sesi diskusi kelompok di ruang terapi, di mana partisipan saling berbagi cerita—apa yang mereka pelajari tentang diri sendiri, dan apakah ada perubahan sikap terhadap dana kurban.
Dari simulasi ini, Ririn mengukur dua metrik utama: total donasi kurban yang terkumpul dan perubahan skor kesejahteraan mental partisipan. Kelompok Permata terlihat mengumpulkan donasi yang lebih stabil, namun lebih cepat mengalami kejenuhan karena mereka biasanya berfokus pada kemenangan instan. Sementara Kelompok Naga menunjukkan potensi keuntungan lebih tinggi, namun juga fluktuasi stres yang lebih besar. Hasil ini menjadi bahan rekomendasi strategi: perhatikan batasan risiko agar kesejahteraan mental tetap terjaga dan donasi tidak terganggu.
Menilai Implikasi Kesejahteraan Mental
Bagi seorang terapis, kesejahteraan mental adalah fokus utama. Ririn menggunakan skala DASS-21 (Depression Anxiety Stress Scales) untuk mengukur perubahan kondisi partisipan sebelum dan sesudah simulasi. Ia menemukan bahwa partisipan yang terlalu berfokus mengejar kemenangan instan cenderung mengalami peningkatan angka stres, meski donasi mereka cukup tinggi. Sebaliknya, partisipan yang mengadopsi pendekatan gradual—menurunkan taruhan saat kerugian—melaporkan peningkatan mood yang lebih stabil.
Dalam sesi refleksi, beberapa partisipan mengatakan, “Saya merasa lega saat berhasil berdonasi, tapi juga cemas ketika melihat modal saya tergerus.” Ririn mencatat fenomena ini sebagai ‘liga ambivalen’: di satu sisi, mereka senang memberi; di sisi lain, mereka khawatir kehilangan. Ia menekankan pentingnya intervensi psikoedukasi, misalnya mengajarkan teknik atensi penuh (mindfulness) saat bermain, serta menetapkan batas waktu dan modal ketat. Dengan demikian, tujuan kurban dapat tercapai tanpa mengorbankan kesehatan mental.
Ririn juga mencatat beberapa perubahan perilaku pasca-simulasi: partisipan lebih bijak mengelola uang, lebih cepat melepaskan kegagalan kecil, dan menunjukkan empati lebih tinggi terhadap orang lain yang membutuhkan. Hal ini dianggap sebagai indikator kesejahteraan mental yang positif: ketika seseorang merasa mampu mengelola risiko, mereka juga lebih mudah berempati. Dari sinilah, Ririn menyimpulkan bahwa aspek psikoekonomi tidak hanya berpengaruh pada donasi, tetapi juga pada kualitas mental jangka panjang.
Evaluasi Dampak Ekonomi
Selain dampak mental, Ririn menilai implikasi ekonomi. Dari total kredit virtual Rp 3.000.000 (30 partisipan x Rp 100.000), simulasi menghasilkan total donasi nyata Rp 2.000.000 setelah dikonversi. Angka ini diubah menjadi pembelian dua ekor kambing kecil untuk kurban. Bagi komunitas Surabaya, meski jumlahnya tidak besar, dampaknya signifikan—karena partisipan merasa terlibat langsung, bukan hanya sekadar menyumbang uang kas.
Ririn juga mengamati efek ekonomi sampingan: psikolog klinis dan ekonom lokal mulai tertarik mengadakan workshop microfinance dan manajemen stres, berkat data riset ini. Beberapa klinik terapi bahkan menawarkan paket khusus ‘wellness through gaming’ untuk remaja. Sementara itu, beberapa kafe di Surabaya memanfaatkan tema game ini untuk mengadakan ‘game night fundraiser’—pelanggan membeli minuman dengan keuntungan sedikit disumbangkan ke kurban. Efek domino ini dianggap Ririn sebagai bentuk keberlanjutan ekonomi berbasis pengetahuan.
Ririn mencatat dalam laporan akhir bahwa kombinasi psikoekonomi ini menghasilkan model yang dapat diadaptasi di kota lain: tetapkan modal yang wajar, jadwalkan sesi refleksi bergilir, dan libatkan komunitas lokal untuk mendukung. Dengan data ini, ia berharap lembaga sosial dan klinik bisa mengembangkan program serupa—menggabungkan hiburan digital, donasi sosial, dan intervensi mental health secara sinergis.
Kebiasaan Unik Terapis
Dalam kesehariannya, Ririn memiliki kebiasaan unik: setiap pagi, ia menuliskan satu afirmasi di papan tulis di ruang terapinya, misalnya “Setiap donasi adalah investasi kebahagiaan.” Ia percaya, afirmasi ini membantu menanamkan niat positif di benak partisipan. Sebelum memulai sesi riset, partisipan diajak meditasi singkat selama lima menit untuk menenangkan pikiran, sehingga mereka lebih sadar akan emosi saat bermain game digital.
Ririn juga menerapkan ritual “Curhat Koin” setiap hari Jumat. Partisipan yang ingin mengikuti simulasi diundang datang ke klinik, di mana mereka menuliskan pengalaman mingguan di selembar kartu: apa tantangan psikologis dan ekonomi yang mereka hadapi, serta bagaimana mereka menyeimbangkan keduanya. Kartu-kartu ini kemudian dipajang di ‘Papan Empati’ di lobi klinik, agar siapa pun yang datang bisa membaca dan merasakan cerita sesama. Ini menciptakan rasa kebersamaan yang kuat di kalangan partisipan.
Terakhir, Ririn juga menggunakan model ‘granular budgeting’—mencakup catatan detail tentang setiap pengeluaran dari hasil donasi, transparansi yang diapresiasi banyak pihak. Ia pun membagikan format elektroniknya kepada lembaga sosial di Surabaya agar mereka dapat meniru sistem akuntansi sederhana ini. Dengan langkah-langkah praktis dan kebiasaan inovatif ini, ia memastikan program psikoekonomi berjalan lancar dan berdampak positif bagi kesehatan mental serta ekonomi komunitas.
Kesimpulan dan Pesan Inspiratif
Di akhir riset, Ririn merasa bangga: ia berhasil menyusun riset psikoekonomi yang tidak hanya mengumpulkan dana kurban, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan mental partisipan. Model yang ia kembangkan dapat diakses secara terbuka, bagi siapa pun yang ingin mengadaptasinya. Bagi Ririn, ini bukti bahwa terapis tidak harus terpaku pada ruang konsultasi—mereka bisa menjelajahi dunia digital untuk tujuan sosial yang lebih luas.
Pesan universal dari kisah ini adalah: ilmu pengetahuan, baik psikologi maupun ekonomi, dapat disinergikan untuk menciptakan dampak positif. Menggabungkan analisis data, memahami emosi, serta memfasilitasi refleksi membuat setiap partisipan merasa dihargai dan termotivasi membantu sesama. Semoga kisah Ririn menginspirasi terapis, ekonom, dan siapa saja untuk berpikir kreatif—bahwa di balik setiap angka dan emosi terdapat peluang untuk kebaikan yang lebih besar.